Antara Kaum Nasionalis & Nahdliyin.

Diamnya kaum Nasionalis Sukarnois menghadapi gempuran-gempuran terhadap NKRI baik dari kelompok pengusung Negara Khilafah maupun berbagai kelompok sekuler lain yang ingin memecah belah negara dan bangsa, menimbulkan banyak pertanyaan dan tampak sangat aneh. Kaum Nasionalis Sukarnois seolah-olah melupakan nasehat Bung Karno “Aku cinta keluargaku, tapi aku lebih cinta negara dan rakyatku”. Di tengah negara membutuhkan “cinta” untuk menjaga keberlangsungan dan marwah negara, generasi penerus kaum Nasionalis Sukarnois justru lebih banyak menampakan sikap diam dan tidak menunjukan sikap pembelaan. Ini sangat berbeda dengan generasi penerus kaum Nasionalis Agamis Kyai Hasyim Asy’ari (kaum Nahdliyin) yang tampak masih begitu sigap menjaga NKRI, padahal genetika kedua kaum ini pada awalnya memiliki tipe dan bentuk yang sama.

Generasi awal kaum Nasionalis Sukarnois sebagian besar berasal dari kelompok rakyat bawah – kaum Marhen yang miskin, mlarat dan tertindas – masyarakat tradisional yang sebagian besar abangan. Merekalah yang memiliki slogan “pejah gesang nderek Bung Karno” – hidup mati ikut Bung Karno. Ini pula yang kemudian melahirkan sebutan Kaum Nasionalis Marhenis. Tipe pendukung seperti ini juga sama dan sebangun dengan kelompok Nasionalis Agamis tradisional  yang juga disebut dengan kaum Nahdliyin. Meski mlarat dan  berasal dari golongan terbawah tetapi kecintaannya pada negeri ini tidak dapat diragukan lagi. Itu dulu.

Dulu pula, pada masa pra dan awal kemerdekaan kedua kaum ini  juga bahu-membahu secara erat, berjuang demi negara dan bangsa. Pada tahun 1943 ketika ditanya oleh Jepang, kalau Indonesia merdeka siapa presidennya, maka dengan tegas Kyai Hasyim Asy’ari menjawab, yang pantas jadi presiden Indonesia adalah Soekarno seorang nasionalis muslim yang konsisten. Inilah awal aliansi kaum Sukarnois dan Nahdliyin yang sekaligus merupakan modal besar menuju kemerdekaan Indonesia.

Aliansi tersebut di atas juga terus berlangsung sampai ketika harus berhadapan dan “bertikai” dengan kaum Modernis Sekuler maupun kaum Modernis Agamis pada masa awal kemerdekaan. Sangking sengitnya pertarungan ideologi tersebut, maka sekitar tahun 1950-1960-an terdapat humor politis sarkastik (lucu, tapi sakitnya disini, hehe …) yang berupa: “kaum pintar yang ngerti agama adalah Masyumi, kaum pintar yang tidak ngerti agama adalah Komunis. Kaum bodoh yang tidak ngerti agama adalah Nasionalis, kaum bodoh yang ngerti agama adalah Nahdliyin”.

Namun demikian sejarah mencatat, bahwa kaum “bodohlah”  yang sangat setia pada negara ini dengan tidak pernah melakukan “bughot” (memberontak pada negara). Sebaliknya kaum pintar justru terbukti melakukan beberapa kali “bughot (pembetontakan)” baik yang dimotori oleh kaum Islam Modernis maupunn kaum Sekuler Modernis. Pemberontakan DII/TII yang merupakan faksi sempalan dari Masyumi, Pemberontakan PKI, dan Pemberontakan PRRIPermesta yang terkait dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia) merupakan sejumlah fakta tindakan “bughot (pemberontakan)” kaum modernis terhadap negeri ini. Sedangkan kaum Nasionalis Marhenis dan kaum Nahdliyin adalah kaum miskin tapi setia kepada negara.

Mobilitas Vertikal : Menjadi Elit & Menjadi Agamis.

Melemahnya energi generasi baru kaum Nasionalis Marhenis seperti tampak akhir-akhir ini ketika memilih diam dalam menghadapi “prahara nusantara” sepertinya disebabkan oleh banyak faktor:

Faktor pertama, karena adanya kemampuan melakukan mobilitas vertikal dari kaum proletar menjadi kaum elit, dari masyarakat bawah tanpa kekuasaan menjadi elit yang penuh kuasa dalam berbagai bidang (negara, harta/korporasi, ketokohan, dll). Kaum proletar yang bertransformasi menjadi elit kadang memang mudah lupa asal-usulnya.

Kesadaran generasi awal kaum Nasionalis Marhenis tentang pentingnya pendidikan, telah menjadikan mereka sekuat tenaga  menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah dan perguruan tinggi terbaik. Namun demikian sialnya generasi kaum Marhenis yang sekarang menjadi elit, justru dibesarkan dalam tradisi pendidikan “De-Sukarnoisasi” di era Orde Baru. Mereka pintar, berprestasi namun tidak memiliki pijakan kuat tentang nilai-nilai “Nasionalisme si Bung”.

Faktor kedua, adanya kegamangan meniti jalan relegionitas.
Kemapanan generasi kedua kaum Marhenis baik di bidang kekuasaan, kekayaan dan ilmu pengetahuan pada akhirnya membutuhkan sandaran relegionitas sebagai bentuk “katakutan akan kematian, atau tumbuhnya kesadaran bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, seberkuasa dan semapan apapun akan berakhir – maka mencari jalan kembali adalah keharusan”. Situasi kegamangan inilah yang kemudian menjadi bidang garapan dakwah kaum Islam Modernis dan Islam Transnasional. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika banyak kaum Nasionalis Marhenis yang berlabuh dalam aliran jenis ini, termasuk dengan mengganti nama diri dari rasa jawa menjadi rasa arab, misalnya.
Bersama dengan pelabuhan barunya itu, maka hilang dan menipis pula rasa nasionalismenya dan larut dalam agenda-agenda global Islamisme Transnasional yang salah satunya mendukung bergantinya NKRI menjadi Negara “Khilafah”.

Suara dari Alam Sana: Bung Karno dan Mbah Kyai Hasyim Asy’ari.

Saya membayangkan di alam sana, Bung Karno seringkali bermuram durja melihat tingkah polah generasi penerusnya di dalam menjaga NKRI. Sebaliknya Mbah Kyai Hasyim Asy’ari terus tersenyum bahagia melihat tingkah polah generasi penerusnya dalam menjaga NKRI. Si Bung layak bermuram durja, karena Nasionalisme Marhenis yang digagasnya ternyata tidak memiliki daya tahan yang ampuh dalam  menghadapi terpaan zaman. Sebaliknya Nasionalisme Agamis yang digagas Mbah Kyai Hasyim Asy’ari justru memliki daya tahan dan energi  melimpah dalam menjaga NKRI.

Bagi kader-kader Mbah Kyai Hasyim Asy’ari, NKRI adalah warisan ulama dan kyai, sehingga menjaga warisan adalah bentuk penghormatan kepada para ulama dan para kyai. Saya tidak tahu, bagi kader-kader Bung Karno, NKRI sekarang ini dilihat sebagai apa, sebab mereka tampak lebih banyak diam, malah bersemangat berganti baju dan asyik dengan sikap elitnya, sementara di sisi lain “NKRI sedang megap-megap meminta uluran tangan untuk diselamatkan”. Buatlah Bung Karno tersenyum sebagaimana Mbah Kyai Hasyim Asy’ari tersenyum di alam sana. Itu saja yang layak diharapkan dari kader-kader si Bung, saat ini. Tidak lain dan tidak lebih. Salam.

Anis Ilahi Wahdati, Alumnus Universitas Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published.